TRAGEDI
12 MEI 1998,
KASUS TEROMBANG-AMBING
KASUS TEROMBANG-AMBING
Awalnya dari Kampus Trisakti
Tahun 1998 merupakan puncak masa penantian
panjang (selama 32 tahun) yang sebelumnya terasa tidak berkesudahan,
untuk mewujudkan awal bedemokrasi dan rasa adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun tragisnya harus diawali peristiwa penembakan empat mahasiswa
Universitas Trisakti. Selanjutnya aspek HAM setelah kasus penemakan hanyalah seperangkat hak yang terlalu diawang-awang, yang pada
saat kemudan kiranya seperti pengabaian hukum. Memang dari sinilah
titik kulminasi perubahan
meluncur dari pergerakan mahasiswa, dimulai di dalam kawasan Universitas Trisakti di Jakarta yang dikenal sebagai REFORMASI.
Sebagai catatan, aparat bersenjata kita yang digaji dari uang pajak rakyat, setelah perang kemerdekaan faktanya terbukti tidak pernah bertempur menghadapi bangsa asing. Selama itu mereka hanya berani menggunakan pelurunya untuk menembak bangsa sendiri, sebagai uji di lapangan gunakan kekuatan dan ketrampilan dari latihannya sebelumnya.
Sebagai catatan, aparat bersenjata kita yang digaji dari uang pajak rakyat, setelah perang kemerdekaan faktanya terbukti tidak pernah bertempur menghadapi bangsa asing. Selama itu mereka hanya berani menggunakan pelurunya untuk menembak bangsa sendiri, sebagai uji di lapangan gunakan kekuatan dan ketrampilan dari latihannya sebelumnya.
Tragedi Trisakti
Satu lintasan sejarah yang sudah berlalu telah tercatat, dengan empat orang mahasiswa Trisakti gugur (12 Mei 1998) dan kematian mereka
menjadi pendorong perubahan
negeri ini, yang
memicu mundurnya Presiden Soeharto (21 Mei 1998). Apakah rezim-rezim
yang pernah berkuasa setelah Soeharto lengser, pernah berpikir, adanya tragedi
Trisakti itulah mereka pernah merasakan dan tercatat dalam sejarah menjadi
“penguasa” negeri yang kita cintai ini?. Sungguh ironis
dan menyakitkan perjalanan reformasi
akhirnya Cuma dimanfaatkan dan
diisi untuk kepentingan para politisi cari kursi kekuasaan dan juga kekayaan liwat cara-cara korup berjamaah. Hal ini malah jadi ironi dengan masa kejayaan rejim Orde Baru yang ditentang habis karena praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Setelah lengser Soeharto kemudian melahirkan banyak partai, dengan dalih kebebasan berdemokrasi, tetapi malah melahirkan banyak Sengkuni (tokoh licik dan jahat dalam cerita wayang). Malah di era Presiden Joko Widodo, terjadi pembalikkan slogan yaitu dulu dikenal "Politik adalah Panglima", namun oleh kelompok kepentingan tertentu ditelorkan slogan "Agama tertentu adalah Panglima". Padahal agama sejatinya untuk dipraktekkan beribadah dan meyakini, mematuhi perintah Tuhannya serta menghormati sesama manusia.
Melihat fakta demikian, sungguh tragis sekali apabila perjuangan ke empat pejuang reformasi tersebut gugur
dengan kata “sia-sia”?. Selama penantian panjang, para orang
tua tidak henti-hentinya berjuang
menuntut keadilan atas
kematian tragis putra-putra mereka di negeri yang katanya
menjunjung tinggi Ketuhanan, asas kemanusiaan, hukum dan keadilan. Ternyata aksi dan perjuangan mereka belumlah sampai meresap pada pola pikir aparat Negara
dalam menciptakan Negara yang adil serta bebas dari kesewenangan. Banyaknya pro dan kontra
di tingkat petinggi,
sangatlah membingungkan masyarakat,
yang akhirnya timbul pertanyaan,
adakah niat dari penguasa untuk mengungkap kasus tragedi Trisakti dan mengadili
pelakunya dan dalang sesungguhnya ?.
Bahkan DPR di masa Megawati berkuasa saat itupun menganggap Kasus Trisakti 1998 tidak dapat diajukan sebagai kasus pelanggaran HAM berat, malahan DPR memutuskan bahwa kasus itu kejahatan HAM tergolong kriminal biasa. Tetapi, jelas warga yang ditinggalkan oleh keempat Pejuang Reformasi, tetap mempertahankan keyakinan serta menggalang para sahabat untuk tetap berpatokan pada keyakinan bahwa kasus ini bisa terang benderang dan tuntas.. Karena kalau memang niat ingin mengangkat kasus ini pasti bisa dilacak. Kenyataan terhadap tragedi tersebut, mereka yang berkuasa cenderung “was-was sendiri”, takut tidak mendapatkan bantuan dan dukungan dari kelompok bersenjata yang legal - demi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Sekilas melihat ke belakang, dari rezim-rezim yang berkuasa sejak Tragedi Trisakti mulai Presiden B.J. Habibie sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbukti, pada masa kekuasaannya Habibie sibuk mencari selamat posisinya yang labil, dan hanya bisa tersohor melepas Timor-Timur dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang asyik sendiri, tour keliling dunia. Megawati hanya bisa diam membisu saja, walaupun pendukung dan kelompok partainya pernah menjadi korban dari kelompok bersenjata yang disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Upaya mengungkap
kasus?
Langkah dan upaya mewujudkan Pengadilan HAM dalam kasus Trisakti hingga saat inipun agaknya tetap stagnan, tidak pernah tegas dan penguasa hanya menebar janji-janji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Janji pemerintah ketika audiensi di gelar bersama dengan keluarga korban, akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, dan Komnas HAM. Sebaliknya Keluarga korban inginnya aksi nyata pemerintah bukan sekedar janji. Sikap para sivitas akademika Universitas Trisakti dan sahabat, banyak menaruh harapan yang paling besar ada di pemerintahan Presiden Joko Widodo, sesuai janji pada saat kampanye akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Apakah pada masa kampanya untuk Pilpres 2019 akan kembali dimasukannya kasus HAM di Trisakti sebagai iklan menjual mencari simpati dan dukungan massa???
Perlu diingat kasus tragedi Trisakti adalah hutang pemerintah yang harus dibayar, dan selalu diingat serta diteruskan pada setiap generasi mahasiswa yang tumbuh silih berganti, walau Mei 1998 telah berganti kalender, masih menyimpan semangat, harapan, duka, penghiburan, kenangan, dan makna yang tidak akan pernah hilang. Akhirnya apabila di tahun 2017 belum terbayar lagi, maka tahun 2018 akan kembali ditagih hutang sejarah tersebut oleh generasi mahasiswa yang baru, begitu seterusnya.
Terakhir kata,
Jangan jadikan kasus tragedi Trisakti
ini menjadi “dark number".
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar