Social Icons

Sabtu, 04 November 2017

TRAGEDI 12 MEI 1998





 TRAGEDI  12 MEI 1998,
KASUS TEROMBANG-AMBING

Awalnya  dari Kampus Trisakti
Tahun 1998  merupakan   puncak masa   penantian   panjang  (selama 32 tahun) yang sebelumnya terasa tidak berkesudahan, untuk mewujudkan awal bedemokrasi dan rasa adil  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun tragisnya harus diawali peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti. Selanjutnya aspek HAM setelah kasus penemakan hanyalah seperangkat hak yang terlalu diawang-awang, yang  pada  saat kemudan kiranya seperti pengabaian hukum.   Memang   dari    sinilah    titik  kulminasi   perubahan    meluncur dari pergerakan mahasiswa,  dimulai di dalam   kawasan Universitas Trisakti di Jakarta yang dikenal sebagai REFORMASI. 

Sebagai catatan, aparat bersenjata kita yang digaji dari uang pajak rakyat, setelah perang kemerdekaan faktanya terbukti  tidak pernah bertempur menghadapi  bangsa   asing.   Selama   itu   mereka   hanya   berani   menggunakan   pelurunya untuk menembak bangsa sendiri, sebagai uji di lapangan gunakan kekuatan  dan ketrampilan dari latihannya sebelumnya.

Tragedi Trisakti
Satu lintasan sejarah yang sudah berlalu telah tercatat, dengan empat orang mahasiswa Trisakti gugur (12 Mei 1998) dan kematian  mereka   menjadi   pendorong   perubahan   negeri   ini,   yang   memicu mundurnya Presiden Soeharto (21 Mei 1998). Apakah rezim-rezim yang pernah berkuasa setelah Soeharto lengser, pernah berpikir, adanya tragedi Trisakti itulah mereka pernah merasakan dan tercatat dalam sejarah menjadi “penguasa” negeri yang kita cintai ini?.   Sungguh   ironis   dan   menyakitkan     perjalanan     reformasi   akhirnya   Cuma dimanfaatkan dan diisi untuk kepentingan para politisi cari kursi kekuasaan dan juga kekayaan liwat cara-cara korup berjamaah. Hal ini malah jadi ironi dengan masa kejayaan rejim Orde Baru yang ditentang habis karena praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Setelah lengser Soeharto kemudian melahirkan banyak partai, dengan dalih kebebasan berdemokrasi, tetapi malah melahirkan banyak Sengkuni (tokoh licik dan jahat dalam  cerita wayang). Malah di era Presiden Joko Widodo, terjadi pembalikkan slogan yaitu dulu dikenal "Politik adalah Panglima", namun oleh kelompok kepentingan tertentu ditelorkan slogan "Agama tertentu adalah Panglima". Padahal agama sejatinya untuk dipraktekkan beribadah dan meyakini, mematuhi perintah Tuhannya serta menghormati sesama manusia.

Melihat fakta demikian, sungguh tragis sekali apabila perjuangan   ke empat pejuang reformasi tersebut gugur dengan kata  “sia-sia”?. Selama penantian panjang,   para   orang  tua tidak henti-hentinya berjuang  menuntut   keadilan   atas  kematian   tragis  putra-putra mereka di negeri yang katanya menjunjung tinggi Ketuhanan, asas kemanusiaan, hukum dan keadilan. Ternyata aksi dan perjuangan   mereka   belumlah sampai meresap pada pola pikir aparat Negara dalam menciptakan Negara yang adil serta bebas dari kesewenangan. Banyaknya pro dan  kontra  di   tingkat   petinggi,  sangatlah   membingungkan  masyarakat,  yang   akhirnya timbul pertanyaan, adakah niat dari penguasa untuk mengungkap kasus tragedi Trisakti dan mengadili pelakunya dan dalang sesungguhnya ?.

Bahkan   DPR   di   masa Megawati berkuasa saat itupun   menganggap Kasus Trisakti 1998 tidak dapat diajukan sebagai   kasus  pelanggaran   HAM berat,   malahan   DPR   memutuskan   bahwa   kasus   itu kejahatan HAM tergolong kriminal biasa. Tetapi, jelas warga yang ditinggalkan  oleh  keempat Pejuang   Reformasi,  tetap mempertahankan   keyakinan   serta   menggalang   para   sahabat    untuk   tetap   berpatokan pada keyakinan bahwa  kasus ini bisa terang benderang dan tuntas..  Karena kalau memang niat  ingin mengangkat kasus ini pasti bisa dilacak.   Kenyataan   terhadap   tragedi   tersebut,     mereka   yang   berkuasa cenderung “was-was sendiri”, takut tidak mendapatkan bantuan dan dukungan dari kelompok bersenjata yang legal - demi untuk melanggengkan kekuasaannya.

Sekilas   melihat   ke   belakang,   dari   rezim-rezim   yang   berkuasa   sejak   Tragedi Trisakti   mulai   Presiden   B.J.   Habibie   sampai   Presiden   Susilo   Bambang   Yudhoyono terbukti, pada masa kekuasaannya Habibie sibuk mencari selamat posisinya yang labil, dan   hanya   bisa   tersohor   melepas   Timor-Timur   dari   negara kesatuan   Republik   Indonesia. Dilanjutkan dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang asyik sendiri, tour keliling dunia. Megawati   hanya   bisa   diam   membisu   saja,   walaupun   pendukung dan kelompok   partainya pernah menjadi korban dari kelompok bersenjata yang disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Upaya mengungkap kasus?

Langkah dan upaya mewujudkan Pengadilan HAM dalam kasus Trisakti hingga saat   inipun     agaknya tetap   stagnan,   tidak pernah tegas dan penguasa hanya menebar  janji-janji  untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Janji pemerintah ketika audiensi di gelar bersama dengan keluarga korban, akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)  terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, dan Komnas HAM. Sebaliknya Keluarga korban inginnya aksi nyata pemerintah bukan sekedar janji.  Sikap para  sivitas akademika Universitas Trisakti dan sahabat, banyak  menaruh  harapan yang paling besar ada di pemerintahan Presiden Joko Widodo, sesuai janji pada saat kampanye akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Apakah pada masa kampanya untuk Pilpres 2019 akan kembali dimasukannya kasus HAM di Trisakti sebagai iklan menjual mencari simpati dan dukungan massa???

Perlu diingat kasus tragedi Trisakti  adalah hutang pemerintah yang harus dibayar, dan  selalu diingat serta diteruskan pada setiap generasi mahasiswa yang tumbuh silih berganti, walau Mei 1998 telah berganti kalender, masih menyimpan semangat, harapan, duka, penghiburan, kenangan, dan makna yang tidak akan pernah hilang. Akhirnya  apabila di tahun 2017 belum terbayar lagi, maka tahun 2018 akan kembali ditagih hutang sejarah tersebut oleh generasi mahasiswa  yang baru, begitu seterusnya.

Terakhir kata,
Jangan jadikan kasus tragedi Trisakti ini menjadi “dark number".


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Number visiter